PERBEDAAN DAN PERSAMAAN
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
Perbandingan Hukum sebagai
metode penelitian dan sebagai ilmu pengetahuan usianya relatif masih muda,
karena baru tumbuh secara pesat pada akhir abad XIX atau awal abad XX.
Perbandingan adalah salah satu sumber pengetahuan yang sangat penting.
Perbandingan dapat dikatakan sebagai suatu teknik, disiplin, pelaksanaan dan
metode di mana nilai-nilai kehidupan manusia, hubungan dan aktivitasnya dikenal
dan dievaluasi. Pentingnya perbandingan telah mendapatkan penghargaan di setiap
bagian oleh siapapun dalam bidang studi dan penelitian.
Nilai penting tersebut
direfleksikan pada pekerjaan dan tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh para ahli
ilmu pengetahuan, ahli sejarah, ahli ekonomi, para politisi, ahli hukum dan
mereka yang terkait dengan kegiatan penyelidikan dan penelitian. Apapun
gagasan, ide, prinsip dan teorinya, kesemuanya dapat diformulasikan dan dapat
dikatakan sebagai hasil dari metode studi perbandingan.
Perbandingan konsep antara
konsep hukum islam dengan konsep hukum positif nampaklah jelas.
Term hukum Islam merupakan
terjemahan dari kata ‘al-fiqh al-islami’ yang dalam literatur
Barat disebut ‘the Islamic Law’ atau dalam batas-batas yang
lebih longgar “the Islamic Jurisprudence’. Yang pertama lebih
cenderung kepada syariah sedangkan yang kedua kepada fiqh, namun keduanya tidak
tidak dapat digunakan secara konsisten. Begitu juga term hukum Islam mengalami
ambigiutas antara fiqh yaitu hukum praktis yang diambil dari dalil-dalil
tafsili (rinci) dan syari’ah, yaitu peraturan yang diturunkan oleh Allah kepada
manusia agar dipedomani dalam berhubungan dengan Tuhan-nya, dengan sesamanya,
dengan lingkungannya dan dengan kehidupannya. Akan tetapi term hukum Islam ini
ketika ditelusuri dalam rumusan para ulama ushul fiqh mempunyai pengertian yang
berbeda dari kedua term tersebut diatas. Hukum Islam dalam diskursus ushul fiqh
lebih sebagai al hukm asy-syar’i yang diartikan sebagai khitab
Allah (titah/sapan Allah ), yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf baik
berupa taklif, tahyir (pilihan) maupun penetapan. Dalam diskursus ushul fiqh,
sumber hukum Islam dapat berupa dalil nash ( tekstual ) dan dalil ghairu nash
(paratekstual). Dalil nash yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan dalil ghairu
nash yaitu diantaranya qiyas, ijma’, istihsan, istislah, istishab, ‘urf, pendapat
para sahabat dan syari’at umat terdahulu.
Konsep hukum Islam ini
mempunyai beberapa perbedaan dengan konsep hukum positif, namun dalam
hakikatnya ( hakikat hukum ) mengalami persamaan-persamaan. Begitu juga
mengenai sumber hukum terdapat perbedaan antara sumber hukum Islam dan sumber
hukum positif. Karena itu, tulisan ini akan membahas tentang konsep dan sumber
hukum Islam dengan menggunakan analisis perbandingan dengan hukum positif.
Hakikat Hukum
Dalam ilmu hukum
terdapat beberapa pengertian mengenai hukum yang berbeda-beda. Diantaranya
menurut E.Utrecht, berpendapat bahwa hukum adalah himpunan petunjuk-petunjuk
hidup tata tertib suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota
masyarakat yang bersangkutan”. Sedangkan menurut J.C.T Simorangkir dan Woerjono
Sastropranoto hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang
menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh
badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan
tersebut berakibat diambilnya tindakan yaitu hukuman tertentu (sanksi), serta
masih banyak definisi hukum yang berbeda-beda. Dari definisi yang berbeda-beda
itu, dapat dirumuskan bahwa hukum mengandung unsur-unsur : 1) Peraturan
mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat, 2) Peraturan itu
dibuat oleh badan yang berwajib, 3) Peraturan itu bersifat memaksa 4) Ada
Sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya.
Pengertian hukum yang
dibahas dalam ilmu hukum tersebut hanyalah merupakan pengertian hukum secara
lahiriah (das ding furmich), karena ilmu hukum melihat hukum sebagaimana
adanya. Adapun hakikat hukum merupakan suatu yang tidak terpapar dalam ilmu
hukum, melainkan terdapat dalam pembahasan filsafat hukum. Kedua disiplin
tersebut sama-sama menjawab pertanyaan tentang apakah hukum itu? Namun jawaban
yang diberikan oleh ilmu hukum dan filsafat hukum berbeda. Ilmu hukum menjawab
pertanyaan tersebut dengan melihat kepada hukum positif. Sedangkan filsafat
hukum mengkaji hukum secara mendalam, komperhensif dan radikal, menjawab
pertanyaan tersebut dengan melihat kepada hakikat hukum (das ding unsich).
Karena itu untuk
mengetahui tentang hakikat hukum perlu membahas hukum secara filosofis.
Dari segi hakikatnya,
hukum dapat dilihat sebagai :
1.Perintah dan
Penilaian
Hukum merupakan norma
yang mengajak masyarakat untuk mencapai cita-cita serta keadaan tertentu,
tetapi tanpa mengabaikan dunia kenyataan, maka hukum dapat digolongkan kepada
norma kultur . Norma adalah sarana yang dipakai oleh masyarakatnya untuk
menertibkan, menuntun dan mengarahkan tingkah laku anggota masyarakat dalam
hubungannnya satu sama lain. Untuk bisa menjalankan fungsi tersebut, norma
harus mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa. Dengan demikian hukum juga
mempunyai caranya sendiri untuk menerapkan ciri khas dari norma tersebut (
yaitu sifat memaksa ).
Norma hukum bertujuan
untuk mengarahkan tingkah laku anggota masyarakat, sesuai dengan keinginan dan
kehendak masyarakat itu. Kehendak masyarakat untuk mengarahkan tingkah laku
anggotanya itu dilakukan dengan membuat suatu pilihan antara tingkah laku yang
disetujui dan yang ditolak, maka norma hukum merupakan persyaratan dari
penilaian-penilaian.
Oleh karena itu norma
hukum bukan hanya merupakan perintah melainkan mempunyai nalar-nalar tertentu,
yaitu penilaian yang dilakukan oleh masyarakat terhadap tingkah laku dan
perbuatan-perbuatan orang dalam masyarakat. Adapun penilaian tersebut tidaklah
berdiri sendiri melainkan merupakan bagian dari ide yang lebih besar yaitu
masyarakat bagaimana yang diinginkan. Hal ini sesuai sesuai dengan pendapat
bahwa hukum merupakan alat untuk mengatur masyarakat (law is tool of social
engineering). Dari paparan tersebut dapat dinyatakan bahwa norma hukum
dalam dirinya mengandung dua hal yaitu patokan penilaian ( dimana hukum menilai
kehidupan masyarakat dengan menyatakan apa yang dianggap baik dan tidak baik )
dan patokan tingkah laku ( petunjuk tentang perbuatan mana yang harus
dikerjakan dan yang harus ditinggalkan ).
2. Hubungan
Terdapat beberapa
pandangan tentang hukum diantaranya :
a.Hukum adalah hubungan
diantara suatu persona dan suatu hal ( benda, urusan ) yang menyebabkan hal itu
berada dalam suatu hubungan tertentu dengan persona, seperti menjadi miliknya.
b.Hukum adalah
undang-undang atau suatu perundang-undangan.
c.Hukum adalah suatu
ilmu yang memberikan pengetahuan tentang hukum, pengetahuan tentang
undang-undang ,dan pengetahuan tentang hubungan tersebut diatas.
Dari beberapa pemahaman
tentang hukum tersebut, Lili Rasjidi lebih cenderung bahwa arti utama dari
hukum adalah hubungan. Menurutnya undang-undang disebut hukum karena
undang-undang menjadi penyebab dan norma dari hubungan-hubungan tersebut di
atas. Sedangkan arti ilmu adalah arti turunan dari hukum, yaitu ilmu yang
subjeknya adalah hukum atau undang-undang.
Hukum mengatur
perbuatan jika perbuatan tersebut merupakan perbuatan terhadap orang lain, dan
jika kita mempunyai hak berarti kita mempunyai hak terhadap orang lain atau
suatu persona. Karena itu dapat dikatakan bahwa objek dari hak adalah perbuatan
orang lain.
Dari paparan diatas dapat ditetapkan bahwa hukum adalah suatu hubungan diantara seseorang dengan suatu perbuatan ( sesuatu atau tidak melakukan sesuatu ) dari seseorang yang lain, yang membuat orang ini menghubungkan dirinya dengan perbuatan ini ( tidak melakukan ini ) sebagai dengan kepunyaannya sebagai sesuatu yang menjadi miliknya.
Dari paparan diatas dapat ditetapkan bahwa hukum adalah suatu hubungan diantara seseorang dengan suatu perbuatan ( sesuatu atau tidak melakukan sesuatu ) dari seseorang yang lain, yang membuat orang ini menghubungkan dirinya dengan perbuatan ini ( tidak melakukan ini ) sebagai dengan kepunyaannya sebagai sesuatu yang menjadi miliknya.
Konsep Hukum Islam (
al hukm asy syar’i )
Dalam diskursus hukum
islam, term hukum berasal dari bahasa arab ‘al-hukm” (tanpa u antara huruf k
dan m) yang berarti norma atau kaidah yakni ukuran, tolak ukur, patokan,pedoman
yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda .
Hukum juga merupakan kategori dan penilaian tingkah laku. Hukum sebagai titah
Allah berakibat pada pengkategorian terhadap perbuatan. Misalnya titah Allah
untuk menepati janji, berakibat pada tuntutam perbuatan menepati janji yang
berarti perbuatan menepati janji termasuk tuntutan atau wajib. Maka sering
terjadi penyebutan hukum sebagai wajib, haram dan sebagainya.
Dari pengertian hukum
syar’i ( secara umum ) diatas, dapat diketahui bahwa hukum secara syar’i
terdiri dari hukum taklifi,tahyiri,dan hukum wad’li. Hukum taklifi yaitu hukum
yang menjelaskan tentang perintah,larangan dan pilihan untuk menjalankan
sesuatu dan meninggalkannya. Adapun hukum wadl’i yaitu berupa sebab yang
mewajibkan, syarat yang mesti dipenuhi dan man’i. Sebab adalah sesuatu yang lahir
dan jelas batasan-batasannya, yang oleh Allah ( syar’i ) dijadikan sebagai
tanda bagi wujudnya hukum.
Dalam sistem hukum
islam ada lima hukm atau kaidah yang dipergunakan sebagai patokan mengukur
perbuatan manusia baik dibidang ibadah maupun dilapangan muamalah. Kelima jenis
kaidah tersebut, disebut al-ahkam al-khamsah atau penggolongan hukum lima (
Sayuti Thalib,1986:16 ) yaitu :
1. Ja’iz atau Mubah
2. Sunnat
3. Makruh
4. Wajib,dan
5. Haram
Penggolongan hukum
yang lima atau yang disebut juga kategori hukum atau lima jenis ini, didalam
kepustakaan Islam disebut juga hukum taklifi. Hukum taklifi yaitu hukum yang
menjelaskan tentang perintah, larangan dan pilihan untuk menjalankan sesuatu
atau meninggalkannya. Sedangkan bentuk perintah dan larangan itu ada yang pasti
dan ada yang tidak pasti. Jika bentuk perintah itu pasti maka disebut wajib
(yaitu suatu perintah yang harus dilakukan dan jika orang meninggalkannya
berdosa) dan jika tidak pasti maka disebut mandb atau sunnah (yaitu suatu
perintah yang dianjurkan oleh syar’I, jika dikerjakan mendapat pahala dan jika
ditinggalkan tidak berdosa). Demikian pula jika larangan berbentuk pasti maka
disebut makruh. Adapun tahyir (pilihan) adalah hukum mubah. Mubah ini adalah
suatu hukum yang memberikan kebebasan kepada orang mukallaf untuk memilih
antara mengerjakan suatu perbuatan atau meninggalkannya.
Dari uraian diatas
nampak perbedaan konsep penilaian menurut Hukum Romawi yang melandasi hukum
barat pada umumnya,dengan konsep hukum islam. Hukum Islam mempunyai penilaian
sunnah dan makruh. Sunnah sebagai pengaman wajib,sedangkan makruh sebagai
pengaman haram. Kalau seseorang sudah membiasakan diri melakukan sunnah, maka
ia tidak akan pernah meninggalkan kewajibannya, sebaliknya kalau ia sudah biasa
meninggalkan makruh, maka ia tidak akan pernah melakukan yang haram.
Perhatikan bagaimana
Islam menganjurkan supaya jangan berduaan antara yang berlainan jenis pria dan
wanita tanpa mahram (Khalwat). Hal itu dilarang dalam rangka menjauhi perbuatan
Zina. Perhatikan pula Islam (Qur’an) menggunakan kata-kata jangan melakukan
zina.
Dari perbedaan konsep itu, menimbulkan produk hukum yang berbeda. Umpamanya tentang pengertian dan sanksi hukum zina. Hukum barat/positif memandang hubungan seks diluar nikah yang dilakukan oleh mereka yang sama-sama tidak terikat perkawinan dengan orang lain bukan merupakan zina, jadi bukan delik, tidak dapat dihukum selama tanpa paksaan dan tidak mengganggu ketertiban umum. Menurut hukum Barat (termasuk yang dianut KUHP dan BW) yang dikatakan zina adalah hubungan seksual diluar nikah yang dilakukakn oleh mereka (atau salah satu dari mereka) yang sedang terikat perkawinan dengan orang lain. Perbuatan zina tersebut termasuk delik aduan (klachtendelik), artinya tidak secara otomatis bisa dituntut, apabilla ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan, yaitu suami atau istrinya.
Konsep Islam berbeda dengan konsep hukum Barat. Islam memandang bahwa setiap hubungan seks di luar nikah secara mutlak adalah terlarang. Hubungan seks di luar nikah, apakah dilakukan oleh mereka yangs sedang terikat perkawinan dengan orang lain atau tidak, apakah dilakukan secara sukarela atau tidak, perbuatan tersebut secara mutlak merupakan tindak pidana ( zarimah hudud ) yang diancam hukuman.
Dari perbedaan konsep itu, menimbulkan produk hukum yang berbeda. Umpamanya tentang pengertian dan sanksi hukum zina. Hukum barat/positif memandang hubungan seks diluar nikah yang dilakukan oleh mereka yang sama-sama tidak terikat perkawinan dengan orang lain bukan merupakan zina, jadi bukan delik, tidak dapat dihukum selama tanpa paksaan dan tidak mengganggu ketertiban umum. Menurut hukum Barat (termasuk yang dianut KUHP dan BW) yang dikatakan zina adalah hubungan seksual diluar nikah yang dilakukakn oleh mereka (atau salah satu dari mereka) yang sedang terikat perkawinan dengan orang lain. Perbuatan zina tersebut termasuk delik aduan (klachtendelik), artinya tidak secara otomatis bisa dituntut, apabilla ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan, yaitu suami atau istrinya.
Konsep Islam berbeda dengan konsep hukum Barat. Islam memandang bahwa setiap hubungan seks di luar nikah secara mutlak adalah terlarang. Hubungan seks di luar nikah, apakah dilakukan oleh mereka yangs sedang terikat perkawinan dengan orang lain atau tidak, apakah dilakukan secara sukarela atau tidak, perbuatan tersebut secara mutlak merupakan tindak pidana ( zarimah hudud ) yang diancam hukuman.
Sumber Hukum Syar’i
Sumber hukum biasanya
disebut dengan dalil. Secara bahasa dalil yaitu menunjukan kepada sesuatu yang baik
yang konkret maupun abstrak. Dalil secara istilah adalah sesuatu yang
didalamnnua dicari petunjuk dengan penglihatan yang benar tentang hukum syar’i
amali (praktis) baik secara qath’i maupun dhanni. Dalil yang disepakati oleh
jumhur ulama yaitu Al-Qu’ran, Sunnah, Ijma dan Qiyas . Disamping itu terdapat
beberapa dalil yang masih menjadi ikhtilaf bagi umat islam yaitu istihsan ,
maslahah mursalah , istishab , syaddu ad-dari’ah , urf , pendapat sahabat, dan
syari’at umat terdahulu.
Sumber hukum
(dalil–dalil) tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu dalil nash
(tesktual) dan ghairu nash (paratekstual). Dalil nash (tekstual) yaitu
Al-Qur’an dan As–sunnah, sedangkan dalil-dalil yang lainnya termasuk dalil
ghairu nash (paratekstual). Dalil nash (tesktual) adalah teks yang merupakan
sumber hukum atau tempat dimana hukum ditemukan. Sedangkan dalil-dalil ghairu
nash (paratekstual) tidak berupa teks. Dalil–dalil ghairu nash (paratekstual)
seperti qiyas, istihsan, istishlah dan sebagainya, nampak lebih merupakan
metode penetapan hukum atau pengambilan hukum dari sumber tekstual., disamping
metode kebahasaan yaitu metode ta’lili. Hal ini telah diperbedatkan sejak masa
formasi hukum awal. Oleh karena itu, terdapat pembedaan pengertian
antara–misalnya, qiyas sebagai sumber hukum dan qiyas sebagai metode penemuan
hukum. Qiyas dalam pengertian al-istiwa’ (dalam bentuk kerja atau masdarnya)
yang berarti menyamakan, merupakan metode penemuan hukum. Sedangkan qiyas dalam
pengertian at-taswiyah (dalam bentuk kata benda) yang berarti persamaan,
merupakan sumber hukum. Begitu juga istishlah merupakan metode penemuan hukum
sedangkan mashlahah merupakan sumber hokum
Perbandingan Konsep
Hukum Islam dan Hukum Positif
Dari uraian tentang
konsep hukum dan hukum Islam di atas akan dipaparkan beberapa fokus
perbandingan yakni sebagai berikut :
a. Unsur–unsur Hukum
Unsur–unsur dalam
hukum positif berbeda dengan unsur-unsur hukum Islam, di antaranya adalah:
1. Pembuat Hukum
Dalam hukum Islam
pembuat hukum (al-hakim) atau Syar’i yaitu Tuhan Allah sendiri, maka hukum
merupakan titah Allah. Sedangkan hukum positif dibuat oleh badan yang berwajib
sebagai representasi masyarakat dimana hukum itu berlaku. Dalam perspektif
sejarah hukum Barat, di abad pertengahan berkembang hukum agama seperti hukum
Islam dan hukum Kristen. Pada masa ini yang berlaku adalah hukum Tuhan
(kedaulatan Tuhan). Hukum agama ini yang bersumber dari wahyu. Dalam
perkembangan zaman selanjutnya muncul pandangan bahwa hukum dari Raja atau
kedaulatan negara, kemudian masa Renaissance bahwa hukum adalah kedaulatan
rakyat, sampai abad XIX muncul pandangan positivisme yuridis bahwa hukum sama
dengan undang-undang . Adapun konsep hukum positif yang dianut Indonesia
merupakan adopsi dari konsep hukum Barat Modern yang telah mengalami perubahan
dari masa ke masa tersebut.
2. Subjek Hukum
Subjek hukum (mahkum
‘alaih) dalam hukum Islam adalah mukallaf yaitu orang yang telah memenuhi
syarat-syarat kecakapan untuk bertindak hukum (ahliyah al-ada’). Dalam hal ini
terdapat persamaan dengan konsep subjek hukum dalam hukum positif dengan adanya
pengecualian atau perihal cacat hukum yaitu karena paksaan (dwang, dures),
kekhilafan (bedrog, fraud), dan penipuan (dwaling, mistake).
Dalam hukum positif,
terdapat subjek hukum selain orang (persoon) yaitu badan hukum (rechpersoon).
Hukum Islam juga mengenal adanya badan hukum sebagai subjek hukum, seperti
adanya baitul mal.
3. Wilayah Hukum (objek yang diatur oleh hukum)
Hukum positif
merupakan peraturan yang mengatur tingkah laku manusia dalam pergaulan
masyarakatnya. Sedangkan hukum Islam mengatur perbuatan-perbuatan mukallaf
(sebagai subjek hukum).
Hukum Islam mengatur
semua perbuatan mukallaf baik dalam hubungnannya dengan Tuhan (Allah SWT),
manusia dan lingkungan sekitarnya atau semua makhluk Tuhan, sedangkan hukum
positif hanya mengatur tingkah laku manusia dalam pergaulannya di masyarakat.
Bahkan dalam diskursus ilmu hukumn dan teori hukum terdapat pembedaan norma
agama, kesusilaan, sopan santu dan norma hukum. Adapun dalam hukum Islam tidak
terdapat pemisahan, karena hukum Islam mengatur kehidupan manusia dalam segala
aspeknya, bahkan hukum Islam tidak memisahkan antara masalah hukum dan
moralitas.
4. Daya Paksa
Peraturan hukum
positif berisi perintah dan larangan yang bersifat mengikat dan memaksa,
sehingga sanksi terhadap pelanggarannya dinyatakan dengan tegas. Sedangkan
hukum Islam tidak hanya berisi perintah dan larangan, melainkan berisi taklif,
takhyir (pilihan) dan penetapan. Adapun sanksi tidak dinyatakan dengan tegas,
bahkan dalam beberapa hal hanya diberikan sanksi eskatologis.
b.Hakikat Hukum
Hukum sebagai
perintah. Dalam hal ini hukum Islam dan hukum positif berbeda yaitu bahwa hukum
Islam merupakan titah Allah yang berisi taklif, tahyir (pilihan) dan penetapan.
Sedangkan hakikat hukum positif adalahg suatu perintah dengan disertai sanksi.
Hukum sebagai penilaian. Dalam hal ini terdapat persamaan antara hukum Islam
dan hukum positif, bahwa hukum merupakan penilaian. Dalam hukum terdapat
kategori perbuatan manusia menjadi wajib (harus dikerjakan), haram (harus
ditinggalkan) dan sebagainya, yang berarti terdapat penilaian perbuatan baik
dan buruk menurut hukum.
Hukum sebagai
hubungan. Hakikat hukum sebagai hubungan ini merupakan hasil telaah terhadap
apa yang diatur dalam hukum atau dalam diskursus hukum disebut hukum subjektif.
Dalam hukum Islam terdapat hukum wadl’I yang berupa sebab, syarat dan man’i
yang juga menunjukkan kepada makna hubungan. Misalnya Sebab adalah sesuatu yang
lahir dan jelas batasan-batasannya, yang oleh Allah (syar’i) dijadikan sebagai
tanda bagi wujudnya hukum , yang berarti Sebab merupakan penyebab lahirnya
hukum. Oleh karena itu hukum wadl’i dalam konsep hukum Islam mempunyai
persamaan dengan hakikat hukum sebagai hubungan dalam konsep hukum positif.
b. Sumber Hukum
Sumber hukum positif
dibagi menjadi sumber hukum material dan formal. Sumber hukum material
merupakan materi-materi hukum berupa perilaku dan realitas yang ada di masyarakat,
termasuk hukum adat. Sedangkan sumber hukum formil adalah undang-undang,
kebiasaan, Yurisprudensi, traktat dan doktrin.
Hukum islam juga
mempunyai sumber hukum material, namun perbedaan dengan hukum positif. Yaitu
bahwa sumber hukum Islam berasal dari wahyu,sedangkan hukum positif bersumber
kepada perilaku dan realitas dalam masyarakat. Adapun Urf sebagai kebiasaan
yang dapat disebut juga perilaku masyarakat, masih harus dipilah menjadi ‘urf
shahih (yang sesuai dengan nash atau sumber hukum tekstual) dan ‘urf bathil
(yang tidak sesuai dengan nash), sehingga yang dapat dijadikan sumber hukum
hanyalah ‘urf shahih.
Kesimpulan
Dari paparan di atas
dapat diambil beberapa pemahaman.
Pertama, hukum pada
hakikatnya adalah perintah dan penilaian yaitu penilaian terhadap suatu
perbuatan yang baik atau tidak baik (menurut hukum), serta hubungan yaitu
hubungan diantara seseorang dengan suatu perbuatan (sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu) dari seseorang yang lain, yang membuat orang ini
menghubungkan dirinya dengan perbuatan ini (tidak melakukan ini) sebagai dengan
kepunyaannya, sebagai dengan sesuatu yang menjadi miliknya atau dengan kata
lain suatu hubungan yang mempunyai akibat hukum. Sementara hukum Islam
merupakan sapaan Allah tentang perbuatan mukallaf baik berupa taklif, takhyir
(opsi) maupun wadl’i. Hukum Islam menurut Ushuliiyin adalah kategori aksi (aksi
Tuhan dalam menetapkan hukum), namun menurut Fuqaha hukum merupakan kategorin
penderita yaitu efek atau akibat dari titah Allah. Hukum juga sebagai kategorisasi
dan penilaian hukum.
Kedua, hukum Islam
bersumber kepada Al-Quran dan Sunnah sebagai sumber hukum tekstual (nash) serta
sumber hukum paratekstual (ghairu nash) yaitu Ijma, Qiyas, Istihsan, Maslahah
mursalah, Istishab, Syaddi ad-dariah, ‘Urf, Pendapat Sahabat, dan Syariat umat
terdahulu.
Ketiga, pada
hakikatnya hukum Islam dan hukum positif mempunyai beberapa persamaan yaitu
bahwa hukum sebagai hubungan dan penilaian atau pengkategorian perbuatan
manusia ke dalam baik/tidak baik, dianjurkan/dilarang, serta perintah, walaupun
dalam konsep hukum Islam terdapat hukum takhyiri (opsi).
Keempat,perbedaan
dalam hal sumber yang signifikan antara hukum Islam dan hukum positif yaitu
bahwa hukum Islam bersumber kepada wahyu Tuhan sedangkan hukum positif bersumber
pada realitas kehidupan masyarakat. (dalam mahjiajie. “perbandingan konsep
hokum islam dengan ilmu hukum”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar